Pandemi
Covid 19 yang terjadi tentu saja membawa perubahan ke berbagai aspek dan tidak terlepas
juga dari isu kesetaraan gender. Dampak wabah selalu berbeda antara kaum laki-laki dan perempuan. Patriarki dimaknai
sebagai system structural sosial yang menempatkan laki-laki sebagai figur utama
dalam suatu organisasi sosial termasuk dalam keluarga. Patriarki membentuk
perbedaan status gender yang tidak setara di lembaga masyarakat. Sepanjang sejarah
dalam konteks feminisme, perempuan telah memperjuangkan kesetaraan, penghormatan
dan persamaan hak dengan laki-laki. Bagi perempuan yang nilai
patriarkalnya lebih dominan di ranah
publik, tidak diragukan lagi ini menjadi tantangan tersendiri. Hal ini juga
menimbulkan prasangka gender yang sering terjadi selama ini dan menimbulkan diskriminasi
terhadap perempuan, misalnya di dunia kerja. Beberapa penelitian sebelumnya
menjelaskan bahwa kasus diskriminasi terhadap perempuan akibat prasangka gender
masih sering menimpa perempuan. Sylvia (1983) mengatakan dalam makalahnya yang
berjudul "Perempuan, Pekerjaan, Kesejahteraan, dan Pemeliharaan Patriarki"
bahwa perempuan dianggap tidak mampu untuk dipekerjakan dan dianggap tidak layak
secara fisik dan moral untuk pekerjaan upahan.
Ketidaksetaraan
gender diyakini telah memperburuk dampak pandemic Covid-19 pada perempuan. Rapid
Gender Assessment (RGA) yang dilakukan oleh UN Women di Eropa dan Asia Tengah
menemukan bahwa lebih dari 15% perempuan menganggur, 41% upah perempuan turun,
dan jam kerja serta beban kerja rumah tangga perempuan selama pandemi Covid-19 telah
ditambahkan. Pandemi Covid-19 tidak hanya memengaruhi ekonomi dan masyarakat, tetapi
juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Pandemi bayangan adalah konsep yang menjelaskan peningkatan kekerasan terhadap perempuan
selama pandemi Covid-19.
Menurut
laporan dari UN Women, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan
fisik atau seksual, kebanyakan oleh pasangannya. Namun sejak pandemi COVID-19,
angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan meninggi dengan
semakin banyaknya panggilan telepon darurat di berbagai negara dunia (UN Women,
2021). Permasalahan genting ini membuat UN Women, sebuah Lembaga yang
didedikasikan untuk menangani
pemberdayaan perempuan, meluncurkan kampanye kesadaran public atas Shadow
Pandemic--tren peningkatan kasus KDRT di tengah krisis COVID-19. Dalam sebuah
video layanan public Shadow Pandemic yang dinarasikan oleh actor pemenang
Academy Award, Kate Winslet, UN Women
menyampaikan pesan penting bagi semua orang untuk menolong perempuan di sekitar
mereka yang mengalami KDRT.
Di
level domestik, yaitu Indonesia, langkah serupa dilakukan pemerin ta h n a m
un s e c ara bertahap.
Dalam pidato nasional
pada 15 Maret,
Presiden Indonesia Joko
Widodo menghimbau masyarakat untuk
bekerja dari rumah (work from home) jika memungkinkan, dan mengumumkan
bahwa keputusan tentang lock
downakan diserahkan ke
pemerintah daerah. Di tanggal
yang sama, Jakarta
dan daerah lain
menutup sekolah, dan
beberapa provinsi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
selama beberapa minggu berikutnya. Pada
Rabu, 9 September
2020, Anies Baswedan
mengumumkan bahwa pemerintahnya
memberlakukan kembali kebijakan PSBB setelah sebelumnya dilonggarkan.
Dampak
kedua kebijakan WFH bagi perempuan adalah ancaman domestic violence atau
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bagi sejumlah perempuan, dipaksa diam di
rumah dan tidak bisa
keluar merupakan ancaman
terbesar bagi keamanan
tubuh dan mental (Agustina, 2019). Ini dikarenakan, WFH
memberikan kesempatan emas bagi seorang pelaku kekerasan sebab ia bisa
menghabiskan lebih banyak waktu secara privat dengan korban; jauh dari pengawasan orang lain. Pada awal
kemunculan wabah COVID-19 di China, kantor polisi di negara
itu menerima laporan
kasus domestic violence hingga tiga
kali lipat. Menurut laporan dari Guardian (21/03), 90%
sebab kekerasan domestik tersebut memang berhubungan dengan wabah
COVID-19. Bukan hanya
di China, India
melaporkan dua kali
lipat kasus domestic violence
di pekan pertama penerapan lockdown nasional. Di Prancis, kasus domestic violence
meningkat tiga kali
lipat. Begitu pula
di Jakarta di
mana dalam periode
awal penerapan WFH, terdapat belasan kasus KDRT(The Jakarta Post, 2021).
Saking gentingnya fenomena ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sampai
mendesak pemerintah dunia memperhatikan
perlindungan kepada perempuan dalam upaya penanggulangan COVID-19.
Seluruh
kasus kekerasan terhadap perempuan di atas dapat dinilai sebagai hasil dari
sistem patriarki dan maskulinitas hegemonik di mana nilai-nilai superioritas
masih lekat pada laki-laki di atas
perempuan yang dianggap ‘lemah’ sehingga pantas disiksa. Merujuk pada
penjelasan dari Komnas
Perempuan tahun 2017,
kekerasan terhadap perempuan
terjadi memang karena adanya
eksistensi kultur patriarki
yang diskriminatif dan subordinatif dan relasi kuasa
yang tidak seimbang
antara kedua gender. Isu tentang
relasi kuasa inilah yang membuat feminisme salah satunya disebut sebagai
gerakan politik yang me n c o ba m e nc
a pa i keadilan politis bagi perempuan
di hadapan konstruksi
superioritas laki-laki (Komnas
Perempuan, 2017).
Pandemi COVID-19
saat ini membawa
dampak negatif bagi
kehidupan hampir semua masyarakat
dunia, tak terkecuali
kaum perempuan. Untuk
menangani krisis ini, berbagai negara memberlakukan sejumlah
protokol kesehatan, di antaranya kebijakan
lock down dan Work From Home
(WFH). Meski terdapat sejumlah hasil positif dalam menekan penularan virus,
kebijakan-kebijakan tersebut tidak lepas dari berbagai dampak turunan, misalnya
saja dampaknya terhadap pelemahan
ekonomi secara luas. Dalam hal ini, peneliti menganalisis dampak sosial
dan ekonomi COVID-19 terhadap perempuan secara lebih mendalam, terutama di Indonesia,
China, Amerika Serikat,
Inggris, Prancis, dan
India. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah pandemi
mempengaruhi pria dan
wanita secara setara,
atau keduanya diturunkan? Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mengalami tiga efek utama pandemi,
yaitu beban ganda
pengasuhan anak dan
pekerjaan, ancaman kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), dan perlakuan yang tidak setara di bidang
ekonomi. Ketiga dampak ini
membuktikan bahwa pandemi
COVID-19 tidak gender-neutral dikarenakan
posisi perempuan yang sejak awal tidak sebanding dengan laki-laki dalam tatanan
ekonomi, sosial, dan
politik internasional. Oleh
karena itu, kita
memerlukan gerakan emasipatoris
untuk mendorong kebijakan yang sensitif terhadap isu gender dalam
menghadapi pandemi COVID-19.
Kebijakan
Penanganan Pandemi Covid-19 Yang Responsif Gender Terkait Perlindungan Dan
Pemberdayaan Perempuan
Dalam menghadapi
pandemi COVID-19, perempuan memainkan peran dan kontribusi yang luar
biasa, yang tidak
bisa diabaikan begitu
saja.Pertama,menyitir Letjen TNI Doni Monardo Ketua
Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19 bahwa
wanita berada di garis depan dalam percepatan penanganan COVID-19. Data
menunjukkan bahwa diantara jumlah perawat
kesehatan di Indonesia yang menangani COVID-19, perempuan
sebanyak 71% dan laki-laki
hanya 29%, angka
ini tidak jauh
berbeda dengan tenaga
kesehatan global.Menurut WHO, di kalangan kesehatan global pekerja 70%
adalah perempuan dan 30% adalah
laki-laki. Ini jelas menunjukkan kontribusi sebenarnya dari perempuan dalam respons
Indonesia terhadap pandemi COVID-19.
Dalam menghadapi
pandemi COVID-19, perempuan memainkan peran dan kontribusi yang luar
biasa, yang tidak
bisa diabaikan begitu saja.
Pertama, ambil contoh Letnan Doni Monardo, Ketua Satgas Percepatan Penanganan
COVID-19, Perempuan adalah pelopor dalam percepatan penanganan
COVID-19 (Monardo, 2020). Data
menunjukkan bahwa di antara jumlah
perawat kesehatan yang
menangani COVID-19 di Indonesia, perempuan sebanyak 71% dan laki-laki
hanya 29%. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan tenaga kesehatan global, menurut WHO 70% tenaga kesehatan global
adalah perempuan dan 30% laki-laki. Ini jelas menunjukkan
kontribusi sebenarnya dari
perempuan dalam respons
Indonesia terhadap pandemi
COVID-19.
Perempuan memainkan
peran strategis dalam
merespon masyarakat terhadap
pandemi COVID-19. Kelompok Kerja
Percepatan Penanganan COVID-19
penanganan COVID-19 melalui
"Kolaborasi Pentahelix Berbasis Komunitas" melibatkan lima unsur
yaitu pemerintah, swasta,
akademisi, masyarakat dan
media (ibid, 2021). Penulis meyakini bahwa meskipun kontribusi perempuan
dapat tercermin dalam
setiap aspek, namun
dalam sektor
kemasyarakatan, perempuan dapat
memainkan peran yang
strategis dan berpotensi
untuk pembangunan yang sistematis. Salah satu kontribusi perempuan dalam
menyikapi pandemi COVID-19 dilakukan melalui PKK (Peningkatan Kesejahteraan
Keluarga), sebuah organisasi kemasyarakatan yang mempertemukan perempuan. PKK
ini sudah ada sejak lama dan telah meluas ke desa dan kelurahan diseluruh
Indonesia. Pentingnya PKK dihidupkan kembali dan digunakan untuk mempromosikan
program pasca reformasi bagi perempuan sensitive gender (Juwita, dkk.,2017).
Selama pandemi
COVID-19, beberapa pimpinan
daerah mengerahkan PKK
untuk membantu mempercepat penanganan
pandemi COVID-19. Kader
PKK diharapkan dapat menyebarkan upaya
pencegahan penyebaran COVID-19,
sekaligus menjaga lingkungan sekitar (khususnya keluarga) tetap
sehat dan bersih. Di Jawa Barat, PKK dari 27 daerah / kota menjadi garda terdepan dalam melakukan
pendataan kesehatan masyarakat, menggabungkan
ketersediaan APD (Alat
Pelindung Diri) pada
abses lokal untuk melakukan
konsultasi dan kegiatan sosial terkait bahaya COVID-19. Pemprov DKI Jakarta
juga telah membentu k PK K untuk
membantu menentukan lingkungan,
mendaftarkan kelompok penularan COVID-19 yang rentan,
dan mensosialisasikan cara
mencegah penyebaran virus(bandungkab.go.id, 2020).
Ketiga, perempuan
pada umumnya diharapkan
berkontribusi pada ketahanan keluarga mereka selama
pandemi COVID-19. Negara
telah berupaya memutus
penyebaran rantai penularan
COVID-19 melalui isolasi sosial dan instruksi untuk melakukan "kerja dari
rumah" (WFH). WFH ini
diikuti dengan kebijakan
"Homeschooling
(SFH)". Di bawah kombinasi
WFH dan
SFH, secara umum
diyakini dan diharapkan
bahwa perempuan sebagai pekerja perempuan atau ibu rumah
tangga dapat memainkan setidaknya tiga peran : sebagai pekerja yang
menyelesaikan pekerjaan kantoran di rumah, dan sebagai guru yang mendampingi
anak-anaknya. Ini merupakan
pengalaman sosial baru
bagi perempuan pada
masa WFH yang sebenarnya penuh
dengan diskriminasi gender
dan menambah beban
psikologis dan fisik perempuan. Sayangnya, sebagai salah
satu unsur penanganan “kerja sama Pentahelix berbasis komunitas” berbasis
COVID-19, media justru mensosialisasikan ekspektasi sosial y a n g b ia s gender
ini. Misalnya, ilustrasi
sampul media Indonesia
pada Senin, 16
Maret 2020, menggambarkan foto sebuah
keluarga dengan seorang
ayah, ibu, dan
dua orang anak. Ini
menggambarkan ayah bekerja
di depan laptop,
sedangkan ibu (mungkin
seorang wanita profesional)
mengajar anak-anaknya untuk belajar. Padahal, bukan hanya peran dan tanggung jawab
ibu untuk mendampingi, mendidik, dan mengasuh anak, tetapi juga peran dan
tanggung jawab ayah. Kelihatannya sederhana, tetapi ekspektasi masyarakat bahwa
p e re mp ua n d a p a t memainkan
berbagai peran selama
WFH dapat meningkatkan
risiko kekerasan terhadap perempuan selama
pandemi COVID-19. Mengutip Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menurut data simponi
PPPA hingga 23 April 2020, COVID-19
Saat pandemi, perempuan
korban melaporkan 205
kasus KDRT (Darmawati, 2020).
Isu-isu tersembunyi yang
nampaknya berupa diskriminasi
gender (terutama meningkatnya kekerasan terhadap perempuandan kekerasan
terhadap perempuan selama WFH)
seringkali luput dari
perhatian dan ditemukan
dalam berbagai narasi
utama terkait sampul pandemi COVID-19.
Dalam
hal mempercepat pengobatan COVID-19, banyak harapan tertuju pada perempuan.
Mempertimbangkan kontribusi luar
biasa yang telah
diberikan wanita dalam
menanggapi pandemi COVID-19, tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun,
sebagaimana disebutkan di atas, kontribusi
terhadap perempuan jauh dari
penanganan pandemi COVID-19 yang peka gender. Padahal, dalam "Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana" telah diatur
berbagai tugas di
bidang penanggulangan bencana
yang bertanggung jawab
atas isu gender dengan memastikan
bahwa hak dan
kebutuhan laki-laki dan
perempuan terwujud secara adil
dan manusiawi. telah
diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13
Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di Bidang Penanggulangan Bencana.
Sebagaimana telah umum
diketahui, COVID-19 merupakan
bencana non alam.
Oleh
karena itu, diperlukan beberapa langkah
ke depan untuk mendorong penanganan pandemi COVID-19 yang responsif gender
sebagai berikut:
1. Memastikan semua unsur dalam “Kolaborasi
Pentahelix Berbasis Komunitas” dalam penanganan percepatan COVID-19, yaitu
pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat,
media, memiliki kesadaran gender agar tidak memproduksi praktik dan narasi diskriminatif
gender, khususnya kepada kaum perempuan;
2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia masuk dalam satuan tugas percepatan
penanganan COVID-19 (jika bergabung) sehingga dapat memantau berbagai isu
diskriminasi gender COVID-19;
3. Mempertimbangkan untuk membentuk kelompok kerja yang terdiri dari aktivis perempuan, organisasi perempuan dan kelompok perempuan untuk bekerja dengan satgas percepatan penanganan COVID-19 sehingga mereka dapat mengidentifikasi dan membantu mengatasi berbagai gender dalam penanganan dan proses penanganan masalah terhadap COVID-19.
Terkait harapan bahwa perempuan akan memainkan peran utama dalam mempercepat respons terhadap pandemic COVID-19, mereka harus menghadapi pandemic COVID-19 serta melindungi hak dan kebutuhannya baik wanita dan pria harus adil dan manusiawi.
Kesetaraan gender (gender equal) sebagai salah satu Sustainable Development Goals (SDGs) yang diprakarsai oleh PBB, menjadi isu yang diangkat oleh berbagai kalangan. Memaksimalkan pemberdayaan perempuan di masa pandemi adalah salah satu langkah terbaik kita dalam merealisasikan tujuan SDGs.
BalasHapusIsu ini patut dipublikasikan
BalasHapusCovid ternyata sangat meresahkan masyarakat yaa, hmm....
BalasHapusketidaksetaraan gender sangat tidak baik dan merugikan para perempuan
BalasHapusSangat bangga👏
BalasHapusartikel yang sangat menarik
BalasHapusketidaksetaraan gender sgt tidak bagus
BalasHapusisu yang sangat menarik untuk dibahas
BalasHapusKetidaksetaraan gender ini sangat krng baik, semoga keadilan dan kemanusiaan semua org diperhatikan tanpa terkecuali
BalasHapus