Rabu, 29 September 2021

Dampak Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Kesetaraan Gender

 

Pandemi Covid 19 yang terjadi tentu saja membawa perubahan ke berbagai aspek dan tidak terlepas juga dari isu kesetaraan gender. Dampak wabah selalu berbeda antara kaum laki-laki dan perempuan. Patriarki dimaknai sebagai system structural sosial yang menempatkan laki-laki sebagai figur utama dalam suatu organisasi sosial termasuk dalam keluarga. Patriarki membentuk perbedaan status gender yang tidak setara di lembaga masyarakat. Sepanjang sejarah dalam konteks feminisme, perempuan telah memperjuangkan kesetaraan, penghormatan dan persamaan hak dengan laki-laki. Bagi perempuan yang nilai patriarkalnya  lebih dominan di ranah publik, tidak diragukan lagi ini menjadi tantangan tersendiri. Hal ini juga menimbulkan prasangka gender yang sering terjadi selama ini dan menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya di dunia kerja. Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa kasus diskriminasi terhadap perempuan akibat prasangka gender masih sering menimpa perempuan. Sylvia (1983) mengatakan dalam makalahnya yang berjudul "Perempuan, Pekerjaan, Kesejahteraan, dan Pemeliharaan Patriarki" bahwa perempuan dianggap tidak mampu untuk dipekerjakan dan dianggap tidak layak secara fisik dan moral untuk pekerjaan upahan.

Ketidaksetaraan gender diyakini telah memperburuk dampak pandemic Covid-19 pada perempuan. Rapid Gender Assessment (RGA) yang dilakukan oleh UN Women di Eropa dan Asia Tengah menemukan bahwa lebih dari 15% perempuan menganggur, 41% upah perempuan turun, dan jam kerja serta beban kerja rumah tangga perempuan selama pandemi Covid-19 telah ditambahkan. Pandemi Covid-19 tidak hanya memengaruhi ekonomi dan masyarakat, tetapi juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Pandemi bayangan adalah konsep yang menjelaskan peningkatan kekerasan terhadap perempuan selama pandemi Covid-19.

Menurut laporan dari UN Women, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual, kebanyakan oleh pasangannya. Namun sejak pandemi COVID-19, angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan meninggi dengan semakin banyaknya panggilan telepon darurat di berbagai negara dunia (UN Women, 2021). Permasalahan genting ini membuat UN Women, sebuah Lembaga yang didedikasikan  untuk menangani pemberdayaan perempuan, meluncurkan kampanye kesadaran public atas Shadow Pandemic--tren peningkatan kasus KDRT di tengah krisis COVID-19. Dalam sebuah video layanan public Shadow Pandemic yang dinarasikan oleh actor pemenang Academy  Award, Kate Winslet, UN Women menyampaikan pesan penting bagi semua orang untuk menolong perempuan di sekitar mereka yang mengalami KDRT.

Di level domestik, yaitu Indonesia, langkah serupa dilakukan pemerin ta h n a m un  s e c ara  bertahap.   Dalam   pidato   nasional   pada   15   Maret,   Presiden  Indonesia  Joko  Widodo menghimbau  masyarakat untuk bekerja dari rumah (work from home) jika memungkinkan, dan  mengumumkan  bahwa  keputusan  tentang lock  downakan  diserahkan  ke  pemerintah daerah.  Di  tanggal  yang  sama,  Jakarta  dan  daerah  lain  menutup  sekolah,  dan  beberapa provinsi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama beberapa minggu  berikutnya.  Pada  Rabu,  9  September  2020,  Anies  Baswedan  mengumumkan  bahwa pemerintahnya memberlakukan kembali kebijakan PSBB setelah sebelumnya dilonggarkan.

Dampak kedua kebijakan WFH bagi perempuan adalah ancaman domestic violence atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bagi sejumlah perempuan, dipaksa diam di rumah dan  tidak  bisa  keluar  merupakan  ancaman  terbesar  bagi  keamanan  tubuh  dan  mental (Agustina, 2019). Ini dikarenakan, WFH memberikan kesempatan emas bagi seorang pelaku kekerasan sebab ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu secara privat dengan korban; jauh  dari pengawasan orang lain. Pada awal kemunculan wabah COVID-19 di China, kantor polisi di  negara  itu  menerima  laporan  kasus domestic  violence hingga  tiga  kali  lipat.  Menurut laporan dari Guardian (21/03), 90% sebab kekerasan domestik tersebut memang berhubungan dengan  wabah  COVID-19.  Bukan  hanya  di  China,  India  melaporkan  dua  kali  lipat  kasus domestic violence di pekan pertama penerapan lockdown nasional. Di Prancis, kasus domestic violence meningkat  tiga  kali  lipat.  Begitu  pula  di  Jakarta  di  mana  dalam  periode  awal penerapan WFH, terdapat belasan kasus KDRT(The Jakarta Post, 2021). Saking gentingnya fenomena ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sampai mendesak pemerintah dunia  memperhatikan perlindungan kepada perempuan dalam upaya penanggulangan COVID-19.

Seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan di atas dapat dinilai sebagai hasil dari sistem patriarki dan maskulinitas hegemonik di mana nilai-nilai superioritas masih lekat pada laki-laki  di  atas  perempuan yang dianggap ‘lemah’ sehingga pantas disiksa. Merujuk pada penjelasan  dari  Komnas  Perempuan  tahun  2017,  kekerasan  terhadap  perempuan  terjadi memang  karena  adanya  eksistensi  kultur  patriarki  yang diskriminatif dan subordinatif dan relasi  kuasa  yang  tidak  seimbang  antara  kedua gender. Isu tentang relasi kuasa inilah yang membuat feminisme salah satunya disebut sebagai gerakan politik yang me n c o ba  m e nc a pa i keadilan  politis  bagi  perempuan  di  hadapan  konstruksi  superioritas  laki-laki (Komnas Perempuan, 2017).

Pandemi  COVID-19  saat  ini  membawa  dampak  negatif  bagi  kehidupan hampir semua masyarakat  dunia,  tak  terkecuali  kaum  perempuan.  Untuk  menangani  krisis  ini,  berbagai negara memberlakukan sejumlah protokol kesehatan, di antaranya kebijakan  lock down dan Work  From Home (WFH). Meski terdapat sejumlah hasil positif dalam menekan penularan virus, kebijakan-kebijakan tersebut tidak lepas dari berbagai dampak turunan, misalnya saja dampaknya  terhadap  pelemahan  ekonomi secara luas. Dalam hal ini, peneliti menganalisis dampak sosial dan ekonomi COVID-19 terhadap perempuan secara lebih mendalam, terutama di  Indonesia,  China,  Amerika  Serikat,  Inggris,  Prancis,  dan  India.  Pertanyaan selanjutnya adalah  apakah  pandemi  mempengaruhi  pria  dan  wanita  secara  setara,  atau  keduanya diturunkan? Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mengalami tiga efek utama  pandemi,  yaitu  beban  ganda  pengasuhan  anak  dan  pekerjaan,  ancaman  kekerasan  dalam rumah tangga (KDRT), dan perlakuan yang tidak setara di bidang ekonomi.  Ketiga  dampak ini  membuktikan  bahwa  pandemi  COVID-19  tidak gender-neutral dikarenakan posisi perempuan yang sejak awal tidak sebanding dengan laki-laki dalam tatanan ekonomi,  sosial,  dan  politik  internasional.  Oleh  karena  itu,  kita  memerlukan  gerakan  emasipatoris  untuk mendorong kebijakan yang sensitif terhadap isu gender dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 Yang Responsif Gender Terkait Perlindungan Dan Pemberdayaan Perempuan

Dalam  menghadapi  pandemi  COVID-19,  perempuan memainkan peran dan kontribusi yang  luar  biasa,  yang  tidak  bisa  diabaikan  begitu  saja.Pertama,menyitir Letjen TNI Doni Monardo  Ketua  Gugus  Tugas  Percepatan  Penanganan  COVID-19  bahwa  wanita berada di garis depan dalam percepatan penanganan COVID-19. Data menunjukkan  bahwa  diantara jumlah  perawat  kesehatan  di  Indonesia yang menangani COVID-19, perempuan sebanyak 71%  dan  laki-laki  hanya  29%,  angka  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  tenaga  kesehatan global.Menurut WHO, di kalangan kesehatan global pekerja 70% adalah perempuan dan 30%  adalah laki-laki. Ini jelas menunjukkan kontribusi sebenarnya dari perempuan dalam respons Indonesia terhadap pandemi COVID-19.

Dalam  menghadapi  pandemi  COVID-19,  perempuan memainkan peran dan kontribusi yang  luar  biasa,  yang  tidak  bisa  diabaikan begitu saja. Pertama, ambil contoh Letnan Doni Monardo, Ketua Satgas Percepatan Penanganan COVID-19, Perempuan adalah pelopor dalam percepatan  penanganan  COVID-19  (Monardo, 2020).  Data  menunjukkan bahwa di antara jumlah  perawat  kesehatan  yang  menangani COVID-19 di Indonesia, perempuan sebanyak 71% dan laki-laki hanya 29%. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan tenaga kesehatan global,  menurut WHO 70% tenaga kesehatan global adalah perempuan dan 30% laki-laki.  Ini jelas  menunjukkan  kontribusi  sebenarnya  dari  perempuan  dalam  respons  Indonesia  terhadap pandemi COVID-19.

Perempuan  memainkan  peran  strategis  dalam  merespon  masyarakat terhadap pandemi COVID-19.  Kelompok  Kerja  Percepatan  Penanganan  COVID-19  penanganan  COVID-19 melalui "Kolaborasi Pentahelix Berbasis Komunitas" melibatkan lima unsur yaitu pemerintah, swasta,  akademisi,  masyarakat  dan  media (ibid, 2021). Penulis meyakini bahwa meskipun kontribusi   perempuan   dapat   tercermin   dalam   setiap   aspek,   namun   dalam   sektor kemasyarakatan,  perempuan  dapat  memainkan  peran  yang  strategis  dan  berpotensi  untuk pembangunan yang sistematis. Salah satu kontribusi perempuan dalam menyikapi pandemi COVID-19 dilakukan melalui PKK (Peningkatan Kesejahteraan Keluarga), sebuah organisasi kemasyarakatan yang mempertemukan perempuan. PKK ini sudah ada sejak lama  dan telah  meluas ke desa dan kelurahan diseluruh Indonesia. Pentingnya PKK dihidupkan kembali dan digunakan untuk mempromosikan program pasca reformasi bagi perempuan sensitive gender (Juwita, dkk.,2017).

Selama  pandemi  COVID-19,  beberapa  pimpinan  daerah  mengerahkan  PKK  untuk membantu  mempercepat  penanganan  pandemi  COVID-19.  Kader  PKK  diharapkan  dapat menyebarkan  upaya  pencegahan  penyebaran  COVID-19,  sekaligus  menjaga  lingkungan sekitar (khususnya keluarga) tetap sehat dan bersih. Di Jawa Barat, PKK dari 27 daerah / kota  menjadi garda terdepan dalam melakukan pendataan kesehatan masyarakat, menggabungkan  ketersediaan  APD  (Alat  Pelindung  Diri)  pada  abses  lokal untuk melakukan konsultasi dan kegiatan sosial terkait bahaya COVID-19. Pemprov DKI Jakarta juga telah membentu k  PK K  untuk  membantu  menentukan  lingkungan,  mendaftarkan  kelompok  penularan COVID-19 yang  rentan,  dan  mensosialisasikan  cara  mencegah  penyebaran  virus(bandungkab.go.id, 2020).

Ketiga,  perempuan  pada  umumnya  diharapkan  berkontribusi pada ketahanan keluarga mereka  selama  pandemi  COVID-19.  Negara  telah  berupaya  memutus  penyebaran  rantai penularan COVID-19 melalui isolasi sosial dan instruksi untuk melakukan "kerja dari rumah" (WFH).  WFH  ini  diikuti  dengan  kebijakan  "Homeschooling  (SFH)".  Di  bawah  kombinasi WFH  dan  SFH,  secara  umum  diyakini  dan  diharapkan  bahwa  perempuan  sebagai pekerja perempuan atau ibu rumah tangga dapat memainkan setidaknya tiga peran : sebagai pekerja yang menyelesaikan pekerjaan kantoran di rumah, dan sebagai guru yang mendampingi anak-anaknya.  Ini  merupakan  pengalaman  sosial  baru  bagi  perempuan  pada  masa  WFH  yang sebenarnya  penuh  dengan  diskriminasi  gender  dan  menambah  beban  psikologis  dan  fisik perempuan. Sayangnya, sebagai salah satu unsur penanganan “kerja sama Pentahelix berbasis komunitas” berbasis COVID-19, media justru mensosialisasikan ekspektasi sosial y a n g b ia s  gender  ini.  Misalnya,  ilustrasi  sampul  media  Indonesia  pada  Senin,  16  Maret  2020, menggambarkan  foto  sebuah  keluarga  dengan  seorang  ayah,  ibu,  dan  dua  orang anak. Ini menggambarkan  ayah  bekerja  di  depan  laptop,  sedangkan  ibu  (mungkin  seorang  wanita profesional) mengajar anak-anaknya untuk belajar. Padahal, bukan hanya peran dan tanggung jawab ibu untuk mendampingi, mendidik, dan mengasuh anak, tetapi juga peran dan tanggung jawab ayah. Kelihatannya sederhana, tetapi ekspektasi masyarakat bahwa p e re mp ua n d a p a t memainkan  berbagai  peran  selama  WFH  dapat  meningkatkan  risiko  kekerasan  terhadap perempuan  selama  pandemi  COVID-19.  Mengutip Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan  Perempuan  dan Perlindungan Anak, menurut data simponi PPPA hingga 23 April  2020,  COVID-19  Saat  pandemi,  perempuan  korban  melaporkan  205  kasus  KDRT (Darmawati,  2020).  Isu-isu  tersembunyi  yang  nampaknya  berupa  diskriminasi  gender (terutama meningkatnya kekerasan terhadap perempuandan kekerasan terhadap perempuan  selama  WFH)  seringkali  luput  dari  perhatian  dan  ditemukan  dalam  berbagai  narasi  utama terkait sampul pandemi COVID-19.

Dalam hal mempercepat pengobatan COVID-19, banyak harapan tertuju pada perempuan. Mempertimbangkan  kontribusi  luar  biasa  yang  telah  diberikan  wanita  dalam  menanggapi pandemi COVID-19, tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, kontribusi  terhadap  perempuan jauh dari penanganan pandemi COVID-19 yang peka gender. Padahal, dalam "Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana" telah  diatur  berbagai  tugas  di  bidang  penanggulangan  bencana  yang  bertanggung  jawab  atas isu gender  dengan  memastikan  bahwa  hak  dan  kebutuhan  laki-laki  dan  perempuan  terwujud secara   adil   dan   manusiawi.   telah   diatur   dalam   Peraturan   Kepala   Badan   Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di Bidang   Penanggulangan   Bencana.   Sebagaimana   telah   umum   diketahui,   COVID-19 merupakan bencana non alam. 

Oleh karena itu, diperlukan  beberapa langkah ke depan untuk mendorong penanganan pandemi COVID-19 yang responsif gender sebagai berikut:

1.  Memastikan semua unsur dalam “Kolaborasi Pentahelix Berbasis Komunitas” dalam penanganan percepatan COVID-19, yaitu pemerintah, swasta,  akademisi, masyarakat, media, memiliki kesadaran gender agar tidak memproduksi praktik dan narasi diskriminatif gender, khususnya kepada kaum perempuan;

2.   Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia masuk dalam satuan tugas percepatan penanganan COVID-19 (jika bergabung) sehingga dapat memantau berbagai isu diskriminasi gender COVID-19;

3.   Mempertimbangkan untuk membentuk kelompok kerja yang terdiri dari aktivis perempuan, organisasi perempuan dan kelompok perempuan untuk bekerja dengan satgas percepatan penanganan COVID-19 sehingga mereka dapat mengidentifikasi dan membantu mengatasi berbagai gender dalam penanganan dan proses penanganan masalah terhadap COVID-19.

        Terkait harapan bahwa perempuan akan memainkan peran utama dalam mempercepat respons terhadap pandemic COVID-19, mereka harus menghadapi pandemic COVID-19 serta melindungi hak dan kebutuhannya baik wanita dan pria harus adil dan manusiawi.

9 komentar:

  1. Kesetaraan gender (gender equal) sebagai salah satu Sustainable Development Goals (SDGs) yang diprakarsai oleh PBB, menjadi isu yang diangkat oleh berbagai kalangan. Memaksimalkan pemberdayaan perempuan di masa pandemi adalah salah satu langkah terbaik kita dalam merealisasikan tujuan SDGs.

    BalasHapus
  2. Covid ternyata sangat meresahkan masyarakat yaa, hmm....

    BalasHapus
  3. ketidaksetaraan gender sangat tidak baik dan merugikan para perempuan

    BalasHapus
  4. isu yang sangat menarik untuk dibahas

    BalasHapus
  5. Ketidaksetaraan gender ini sangat krng baik, semoga keadilan dan kemanusiaan semua org diperhatikan tanpa terkecuali

    BalasHapus

Agama Mempengaruhi Gaya Hidup Manusia Dalam Perkembangan Zaman

Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan Kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, serta pandangan...